Anak Muda Indonesia di COP16 CBD, Membawa Harapan untuk Perubahan Lingkungan Berkelanjutan
GOOGLE NEWS
BERITABANGLI.COM, BALI.
Pada tahun 2025, perhatian dunia terhadap perubahan iklim dan keanekaragaman hayati semakin meningkat. Isu ini menjadi fokus utama dalam Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP16 CBD) di Cali, Kolombia, yang dihadiri oleh anak muda Indonesia pada November 2024.
Mereka membawa semangat baru untuk menciptakan perubahan di komunitas lokal, setelah memperoleh banyak wawasan dari konferensi tersebut.
COP16 CBD terbagi menjadi Blue Zone dan Green Zone, dua area utama dengan fungsi yang berbeda.
Blue Zone adalah area eksklusif untuk diskusi dan negosiasi antarnegara, tempat berlangsungnya sesi pleno, pertemuan bilateral, dan acara resmi lainnya.
Green Zone, yang berada di area publik Bulevar del Rio de Cali, terbuka untuk masyarakat umum, LSM, sektor swasta, dan komunitas lokal. Zona ini dirancang untuk memperkuat keterlibatan masyarakat sipil dalam konservasi keanekaragaman hayati.
Bagi delegasi muda Indonesia, kedua zona ini menjadi ruang untuk belajar dan membangun jaringan internasional.
Naomi Waisimon, seorang pengusaha sosial dari Papua, merasa terinspirasi setelah menghadiri sesi Net Positive Commitments in Tourism.
“Sesi ini relevan dengan upaya kami di Papua untuk mengintegrasikan pariwisata dengan pelestarian lingkungan. Saya merasa mendapatkan energi baru untuk melanjutkan pekerjaan kami,” ujar Naomi.
Novita Ayu Matoneng Oilsana, pendiri Komunitas BALENTA di Alor, terkesan dengan semangat masyarakat adat yang hadir di Green Zone. Menurutnya, keterlibatan masyarakat adat di Kolombia menunjukkan kedaulatan penuh atas tanah dan kekayaan alam mereka.
Baca juga:
95 Tahun Identik Perawatan ODGJ, RSJ Bangli Kini Ganti Nama untuk Pengembangan Kesehatan Jiwa
“Inspirasi ini akan saya bawa pulang untuk memperkuat suara masyarakat adat di NTT,” katanya.
Sementara itu, Andi Reza Zulkarnain, Co-chair Young People Action Team (YPAT) UNICEF, belajar dari sesi LAB of Youth Engagement and Participation tentang cara melibatkan komunitas dalam advokasi kebijakan.
“Kami merancang pendekatan berbasis pelatihan dan dukungan langsung untuk melindungi komunitas dari dampak proyek tambang,” jelas Reza.
Delegasi Indonesia juga belajar dari praktik terbaik yang dilakukan oleh anak muda negara lain. Di Kolombia, organisasi Life of Pachamama menjadi contoh sukses keterlibatan pemuda dalam konservasi lingkungan.
Anak-anak usia 7–10 tahun bahkan berbicara di forum tentang pelestarian tanaman endemik, menunjukkan keberanian dan keterampilan komunikasi yang luar biasa.
“Pemuda Kolombia pandai sekali dalam menyampaikan pendapat. Mereka memberikan energi positif yang menular,” ujar Naomi. Reza menambahkan, “Upaya mereka menciptakan ruang publik ramah lingkungan adalah inspirasi besar bagi kita di Indonesia.”
Sekembalinya dari COP16, para delegasi berkomitmen untuk menerapkan pelajaran yang mereka dapatkan.
Naomi berfokus pada konservasi biodiversitas di Papua dengan strategi berbasis komunitas.
Novita ingin memperkuat pemberdayaan masyarakat adat di Alor, mengadopsi pendekatan yang ia pelajari di Green Zone.
Reza berencana mengadaptasi Modul Perjanjian Escazú untuk meningkatkan keterlibatan anak muda Indonesia dalam advokasi lingkungan.
“Teknologi pemetaan hutan yang saya pelajari dapat membantu program pelestarian hutan bakau di Sulawesi Selatan,” kata Reza.
Jaringan luas yang terjalin di COP16 menjadi salah satu aset penting bagi delegasi. Mereka berkolaborasi dengan berbagai pihak, seperti Grant Wilson dari Earth Law Centre dan Juan David Amaya dari Life of Pachamama.
“Diskusi dengan mereka memberi wawasan baru untuk strategi advokasi berbasis komunitas,” kata Reza.
Editor: Wids
Reporter: bbn/tim